Nomaden didefinisikan sebagai orang yang memiliki harta benda minimal, termasuk barang seni dan alat teknologi yang minimal pula. Sebetulnya, gaya hidup orang Rimba hampir tabu untuk memiliki atau menambah harta benda yang tidak termasuk kebutuhan primer atau memiliki barangbarang yang menyulitkan untuk berpindah-pindah. Kelihatannya menurut kosmologi orang Rimba, mereka tidak terdorong atau tergoda mempunyai harta benda. Mungkin alasan itu yang menyebabkan mereka tidak merasakan adanya kecemburuan dan iri hati. Untuk memburu, membuka ladang, menebang pohon, dan lain-lain mereka memakai peralatan yang terbuat dari kayu dan besi.
Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah-wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan. Sebelum memiliki kain untuk membuat cawat (kancut) orang
Rimba membuat cawat dari kulit kayu yang dipukul-pukul hingga lembut. Sudah lama laki-laki memakai cawat dari kain dan perempuan memakai kain panjang yang dikenakan dari pusar sampai di bawah lutut atau kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu merupakan pakaian tradicional orang Rimba yang memudahkan mereka bergerak cepat di dalam hutan, karena mereka perlu untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindari dari hal-hal yang berbahaya. Pada umumnya, saat mereka pergi ke pasar mingguan atau keluar hutan untuk pergi ke dusun, laki-laki sering memakai celana dan perempuan menutupi badannya agar mereka tidak merasa malu, demi menghormati budaya dusun serta agar diterima dengan baik. Menyaksikan tarian, mendengarkan nyanyian, pantun atau seloka sulit sekali. Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Pada saat penulis disana, seorang Rimba 50 bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pon yang tinggi.Forbes bertemu orang Kubu pada tahun 1885 disekitar sungai Musi. Dia mengatakan bahwa mereka punya bahasa sendiri yang tidak bisa dimengerti oleh suku tetangga. Pada awalnya, dia tidak mengerti bahasanya, tetapi semakin lama semakin banyak dia mengerti tipe bahasa dan logat Melayu mereka. Pada waktu ekspedisi tahun 1878, pemandu yang berasal dari Jambi tidak mengerti bahasa orang Rimba, tetapi jelas bahwa bahasa di daerah bukit Duabelas dipengaruhi oleh budaza Minangkabau.
Di propinsi Jambi terdapat suku-suku yang belum berakul turasidengan masyarakat pasca tradisional. Mereka dikenal dengan nama umum suku Kubu, dewasa ini namanya memiliki konotasi yang kurang baik. Di propinsi Jambi terdapat beberapa suku Kubu yang masing-masing memiliki mitos sejarah dan budaya yang berbeda. Walaupun mereka diklasifikasikan sebagai hunters and gatherers, lokasi dan lingkungannya berbeda. Mereka tinggal berpindah-pindah dari rawa dekat laut, dataran sampai kaki pegunungan dan pegunungan di propinsi Jambi. Mereka memakai pola hidup dan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhannya. Kebudayaan mereka selalu dipengaruhi oleh perubahan pola pikir individu dan input perubahan dari luar, artinya budaya orang asing. Ada beberapa mitos serta sejarah tertulis mengenai asal usul orang Rimba termasuk orang Kubu. Sejarah tertulis pertama ditulis oleh orang Tiongkok, mereka berkunjung ke Sumatera bagian tengah dengan alasan belajar bahasa Sansekerta atau berniaga. Mereka membeli atau tukar barang di hilir sungai. Orang Tiongkok dan orang Barat mengangkut kapalnya dengan barang seperti, menyan, beberapa jenis getah, obat alami dan lain yang diperoleh dari hutan dan pegunungan. Di hulu sungai banyak pecahan porselin ditemukan yang berasal dari Tiongkok. Dari aktivitas tersebut diatas bisa disimpulkan bahwa sejak lama orang Rimba disamping 66 sebagai hunters and gatherers juga terlibat perniagaan untuk memenuhi kebutuhannya, seperti alat dapur serta pisau dan tombak. Kelihatannya bahwa membayar upeti (tribute), ke kerajaan atau tukar barang kepada pengantar atau pedagang, supaya orang Terang dari hilir sungai tidak perlu masuk dan mengganggu orang Rimba di kawasan tradisional. Menurut pengamatan seorang eksplorir pertama dari Eropa, orang Rimba digambarkan sebagai orang yang tanpa dosa dan kebudayaannya yang unik. Memang kebudayaan dan kosmologi sangat berbeda. Walaupun kelihatannya struktur masyarakat sederhana, kebutuhan mereka dipenuhi setidaknya selama 6 sampai 10 generasi, atau sekitar 300 sampai 500 tahun, menurut sejarah lisan orang Rimba. Masyarakat Rimba menganut sistem kekerabatan matrilineal dan pologini. Matrilineal, artinya saudara perempuan tinggal bersama di kelompok orang tua dan saudara laki-laki harus ikut kelompok isterinya. Pologini artinya suaminya boleh mempunyai hubungan dengan beberapa istri Alasannya perempuan subur, mandul, dan janda harus dilindungi sebagai sumber hidup. Kelihatannya tanggung jawab laki-laki berat dan
pada tingkat harapan hidup laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Dampak perubahan zaman sekarang terhadap kebudayaan mereka sangat besar, dewasa ini lingkungan tradisionalnya semakin lama semakin sempit oleh penebangan dan perkebunan. Akan tetapi mereka tetap 67 bertekad mengikuti aturan dan budaya yang diwariskan dari nenek moyangnya. Kelihatannya program transmigrasi, menebang hutan serta memburu fauna dan mengambil flora oleh orang Terang, berdampak negatif pada kebudayaan orang Rimba. Akan tetapi orang Rimba sudah beradoptasi supaya bertahan pada masa depan. Orang Rimba sudah mengambil getah pohon karet dan berencana kultivasi kelapa sawit, untuk menaikkan penghasilan. Kelihatannya mereka beradopsi kembar kultur. Menurut Motto Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”, artinya berbeda beda tetapi tetap satu juga, membolehkan diversitas tetapi kelihatannya tidak selalu terjadi dan nilai-nilai mereka tidak selalu dihormati.
0 komentar:
Post a Comment