Ayah! Kenapa kita ini jadi orang rimba

Sejak belajar membaca, menulis dan berhitung di Sokola, Cinteng tampak berseri. Binar-binar harapan yang keluar dari mata bocah itu seperti kilau mutiara. Ia aktif bertanya, berani mengemukakan pendapat dan rajin pula membaca buku. Percaya dirinya tumbuh lebat. Pengetahuan pun bersarang di benaknya dari waktu ke waktu. Ingatannya kuat menyimpan semua yang telah ditangkap pikirannya.

“Ayah! Kenapa kita ini jadi orang rimba?”

Sang ayah, Temenggung Talib, dengan arif menerangkan tentang nenek moyang mereka yang lari dari Istana Pagaruyung beberapa abad silam. Masuk hutan karena kalah perang dengan penjajah. Para Hulubalang Pagaruyung yang lari membawa Tambo ke rimba raya. Seperti anak ayam menyelamatkan diri dari elang. Sayang, setiba di rimba raya nenek moyang tak bersatu lagi. Ketakutan begitu menyeramkan. Jangankan untuk menyerang balik, bertemu dengan orang luar saja mereka takut. Sehingga tak mau berdekatan apalagi bersentuhan dengan orang meru. Temenggung Talib dengan bangga mengatakan orang rimba kerabat raja. Pasukan khusus raja yang diambil oleh keluarga-keluarga terdekat. Terhormat. Ditakuti.

“Kitalah yang masih bertahan. Orang meru secara sadar mau dijajah. Mencari aman. Nenek moyang kita tak mau seperti itu.”

Kini, orang rimba telah bertemu dengan orang meru. Sudah berdekatan tapi tak bersentuhan. Sayang, ayah mengingatkan dan mengajarkan bagaimana cara menghadapi orang meru. Mereka yang acap culas dan sering menipu demi kepentingan pribadi.

Makin bertanya makin tak puas. Cinteng merasa makin perlu menggali sumur kehidupan untuk mendapatkan mutiara pengetahuan. Ia ingin menelanjangi dunia. Oleh karenanya, ia banyak bertanya dengan siapa saja. Begitulah, akhirnya ia makin cakap mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Punya rasionalitas rata-rata dan analisis yang tak sia-sia.

“Kenapa orang meru menebang kayu tempat kita hidup?” Bocah laki-laki itu tampak penasaran. Nuraninya telah menolak kenyataan.

“Halom sekato rajo ,” ujar Talib. Membenarkan apa yang ditanyakan anaknya. Lelaki tua itu menyimpan kesal setelah menjawab pertanyaan si sulung pada bini ketiganya ini. Jawaban yang amat berat agar tidak mematahkan semangat Cinteng patah untuk belajar tentang kearifan.

Memang, hutan hampir habis ditebang. Kehidupan orang rimba makin terhimpit. Denda adat berupa kain untuk orang meru yang menebang kayu tak membuat hutan selamat. Karena orang meru bisa membayar berlipat dari denda asalkan bisa menebang kayu. Bahkan beberapa keluarga orang rimba dibujuk untuk menggunduli hutan. Melawan adat sendiri. Mereka diberi bagian yang banyak. Punya kebun karet dan sawit yang luas.

Demikianlah akhirnya hutan disulap menjadi kebun sawit dan karet yang mahaluas. Orang rimba seperti ini kini jadi jutawan tapi tetap bodoh. Tercerabut dari akar nenek moyangnya.

“Hutan bagi orang rimba seperti ikan dan air. Kalau hutan habis, pertanda kita akan mati. Kita dibunuh berlahan-lahan.” Temenggung Talib tampak gusar setelah menjawab pertanyaan sang bocah yang lugu.

***

Sembilan tahun berlalu…

Cinteng telah beranjak dewasa. Sudah waktunya meniti batang atui . Malah sudah terlambat dibanding dengan teman sebaya yang sudah punya anak. Anak gadis siapa yang ia pinang? Hingga saat ini, belum terpikirkan Cinteng. Jangankan untuk memikirkannya, terbesit di hati pun tak.

Padahal Temenggung Payo, pimpinan kerabat yang lain di sebuah tempat, ingin sekali bermenantu Cinteng. Karena Cinteng seorang yang cerdas, berwawasan luas, supel bergaul, tegas bersikap, jujur dalam pembagian. Hanya saja, Cinteng tak mau cepat berumah tangga. Ia telanjur jatuh cinta pertama pada ilmu pengetahuan. Waktu senggangnya digunakan untuk membaca, dari matematika hingga sastra. Belajar dan belajar. Sang ayah, Temenggung Talib, sangat arif membiarkan alam pikiran Cinteng berkembang. Hanya saja, hatinya resah gelisah masa depan kaumnya.

“Cinteng, aku sudah tua, sebentar lagi mati. Harusnya kau siapkan diri jadi pemimpin kaum. Cepatlah kau kawin.”

Malam amat gelap. Anak-anak sudah tidur. Ibu-ibu mereka sudah merebah badan. Senyap malam diukir asap rokok dan kemilau api di ujung hisapan. Sesekali terdengar suara binatang-binatang liar memantul dari pohon ke pohon. Suasana yang damai bagi mereka, ketakutan bagi orang biasa.

“Ayah! Aku belum mau kawin. Cinteng mau seperti orang meru. Punya mobil, sepeda motor, televisi, rumah mewah, kapan perlu punya telepon genggam, foto digital. Kita sudah punya radio tapi sudah rusak. Ketinggalan model pula. Aku ingin mengumpul uang lebih banyak. Biar bisa membeli semua. Juga dunia!”

“Cinteng! Kau dengarlah kata ayahmu ini. Kemarin Temenggung Payo datang ingin sekali punya menantu dari anakku. Tentu maksudnya adalah kamu. Anak laki satu-satunya. Temenggung Payo punya dua anak gadis. Kau pilihlah yang mana. Biar diselesaikan secara adat. Jangan pikirkan kehidupan orang meru. Ambil yang sisi baik, tinggalkan yang jahat.” Suara laki-laki tua itu amat berat. Mencoba meyakinkan Cinteng yang cerdas. Ia berbicara tak hanya sebagai seorang ayah tapi juga sebagai seorang laki-laki yang juga bicara dengan seorang laki-laki.

Cinteng bukan tidak tahu memilih dua gadis manis putri Temenggung Payo itu. Tapi kemauanlah yang belum ada. Keduanya tak begitu mengecewakan. Cantik dan tetap menarik untuk ukuran orang rimba. Pun Cinteng sudah biasa bertemu dengan dua gadis itu.

Dua minggu lalu bertemu di hulu sungai waktu mencari iwak . Ia bisa merasakan dua gadis itu menyimpan sesuatu untuknya. Sebuah magnet yang ingin menarik hati Cinteng. Walau sempat salah tingkah, pertemuan dengan dua gadis itu ia hadapi dengan apa adanya. Sebagai teman yang bersebelahan.

Bapak dan anak itu tak menyudahi percakapan. Mata tua Temenggung Talib ingin istirahat. Lelah siang berpulang bersamaan dengan mimpi yang tak pernah ada. Ia tak pernah bermimpi.

“Kau pikirlah dulu.” Ia beranjak tidur.

***

Sejak malam itu Cinteng mendapat beban. Pertanyaan demi pertanyaan tentang hidup dan masa depan. Sebagai orang rimba yang maju, tak lagi memakai cawat, tak pula dapat cepat dibedakan dengan orang meru, ia punya mimpi tak sekadar kawin. Apalagi kini sudah berbisnis hasil hutan dengan orang terang. Tidak sebatas barter seperti masa dulu. Mimpi itu amat besar. Besar! Besar sekali baginya. Generasi Cinteng sudah berinteraksi dengan orang terang dalam hal budaya, ilmu pengetahuan, dan informasi harga hasil hutan. Generasi ini menyeruak kegelapan orang rimba. Ia tak mau dikuasai tengkulak. Tak juga sekadar kuli yang siap dimonopoli. Tidak!

“Tak boleh ada yang menjajah kami secara ekonomi. Kami bukan orang bodoh. Jangan ditipu. Jangan sebut kami suku kubu dan terasing.” Begitu Cinteng berhadapan dengan orang terang yang mencoba mengelabui bisnisnya. Kritis dan cermat setiap hitungan tranksaksi dilakukan.

Alhasil, Cinteng punya alat transportasi keluar masuk hutan. Sepeda motor dibeli langsung dari dealer di kota kabupaten terdekat –walau tidak terurus dan acap dijalankan dengan cara yang keliru. Punya televisi yang mengandalkan genset. Membaca majalah dan buku-buku pengetahuan.

“Bagaimana Cinteng? Temenggung Payo tadi bertanya lagi.” Ayah tampaknya mulai mendesak. Cinteng belum juga memberi jawaban. Ia masih fokus berbisnis. Mengumpul hasil hutan bersama-teman seperjuangan. Menjualnya ke tengkulak yang rajin masuk daerah mereka.

“Aku nak kawin dengan orang terang!” Itulah mimpi Cinteng. Mengejutkan sang bapak. Wajah Temenggung Talib memerah. Amarahnya tertahan di dada.

“Gadis mana yang mau dengan orang rimba, kalau bukan gadis rimba. Apa orang meru sudah mengakui kita sahabat dan saudara? Kita ini masih jadi permainan saja.”

Cinteng bertahan pada pendapatnya. Ia sudah lebih maju. Bukan tak mau menyunting gadis rimba tapi ia ingin perubahan dalam hidup dan masa depannya. Bayangan dua putri Temenggung Payo melintas. Tidak terlalu memalukan jika dibawa ke mana-mana. Apalagi yang bungsu, Upay. Gadis remaja yang sudah juga belajar baca, tulis, dan berhitung. Sedangkan kakak Upay, Uyak, tak kalah manis dengan sang adik. Seumuran dengan Cinteng. Cuma Cinteng tak mau punya istri yang berumur sama apalagi lebih tua.

“Wanita cepat tuo . Bisa-bisa aku mencari bini lagi.”

Ini alasan yang kuat menurutnya. Ia tak mau seperti temenggung-temenggung selama ini. Senaknya banyak bini.

“Satu untuk selamanya. Setia. Karena wanita ingin dimengerti. ” Begitu kata Cinteng. Tersenyum merindu, membayangkan hal-hal terindah di luar sana. Cinteng memang gaul banget. Menonton sinetron, infotainment, lagu terbaru, dan punya teman banyak di daerah luar terdekat.

“Inilah pengaruh orang meru,” gumam Temenggung Talib. Ia tiba-tiba membenci orang meru yang telah merebut Cinteng. Cinteng telah beralih hati dari rimba ini. Sedangkan rimba adalah segalanya. Adat dan budaya mesti dipertahankan. Ah, sedangkan Cinteng tak lagi tertarik mempertahankannya. Ia sudah bersama orang meru. Tak mau lagi ikut berburu, tak juga lagi makan hasil buruan. Cinteng makan nasi bungkus!

Sejak itu, bapak anak ini tak saling bicara. Diam.

***

Satu minggu hubungan bilateral itu terputus. Mereka berdekatan tapi tak bersentuhan. Tak berkata. Dan, suatu pagi yang mendung, tiba-tiba Temenggung Talib mangkat. Mengejutkan. Sakit tidak demam pun tiada. Cinteng tak percaya tapi nyata.

“Tanah celako. “

Keharuan menyelinap ke hati keluarga. Cinteng tak kuat menahan air mata. Sebentar lagi mayat yang terbujur kaku harus ditinggalkan. Melangun . Ini sudah menjadi kepercayaan turun-temurun yang dilakukan. Bila ada sanak saudara yang pergi ke kampung orang mati, maka harus pindah dari tempat berdiam. Walau pohon-pohon sedang berbuah. Tak peduli siapa yang mati, pokoknya harus melangun. Sesuatu yang berat. Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan. Pindah!

“Cinteng! Sebagai anak bujang paling gadong11, kau menggantikan peran bapakmu. Adikmu banyak, perempuan pula,” pesan Temenggung Turin. Lirih. Pelan.

Cinteng mengangguk. Hatinya perih.

“Pergilah! Ayahmu telah pergi ke kampung orang mati.”

***

Cinteng dan kerabatnya tiba di negeri tak bertuan setelah berjalan seharian. Memulai hidup baru. Harta kekayaan hanya semampu dibawa. Mereka bersiap membuat tempat tinggal seadanya. Malam larut. Cinteng mengusir lelah dengan badan merebah. Di situlah ia terkenang ayahnya. Ketika ayah mengajarkan banyak kearifan hidup. Dilatih menghapal nama pohon yang boleh ditebang, dipelihara, jenis ikan yang bisa ditangkap dan binatang-binatang buas yang harus diwaspadai, binatang berbisa dan penangkalnya.

“Maafkan aku ayah!” Tiba-tiba air mata anak muda itu menetes. Sedih. Haru. Berat. Apalagi ia mengingat pesan teman ayahnya sebelum melangun, Temenggung Turin. Ah, jadi orang nomor satu dalam kekerabatan terasa amat berat. Segala urusan segera kembali kepadanya. Sedangkan ilmu adat masih sedikit terasa. Ia tak memiliki buku adat dari nenek moyang yang bisa dibaca hari ini. Tambo? Ah, itu sudah beberapa abad silam. Kata tetua, Tambo itu kini telah tiada. Juga mati dan dibawa orang mati ke kampung mati. Mati? Bagi Cinteng bukan akhir sesuatu, ia bentuk awal sebuah perjalanan.

Bayangan Upay bergelombang menerawang dalam senyap malam yang haru. Diselingi bayangan gadis-gadis dusun di luar sana yang sederhana. Sebuah kerinduan yang tak pernah ia mengerti. Apakah itu dinamakan cinta? Ah, sesuatu yang dekat tapi tak tergapai.

Kini ia seorang pemimpin yang harus memperlihatkan integritas sebagai orang rimba. Menghormati alam sebagai tempat hidup. Berwibawa. Semua hal yang ia katakan akan menjadi panutan. Cinteng merasa hari-hari ke depan akan sangat berat harus dilalui. Ia harus memimpin pemburuan demi pemburuan. Hal yang sudah sekian tahun sempat ia tinggalkan.

Cinteng berada di persimpangan. Di situ ada kesepian. Tempat mimpi hanyut ke muara tak bertepi.

“Apakah semua mimpi harus hanyut? Atau ditinggalkan di rimba lama dan menatap rimba baru? Adakah perubahan datang tanpa dijemput? Kawinkah sebuah kesudahan? Maukah orang meru kawin dengan anak rimba? Mana yang harus aku pilih? Jadi orang rimba selamanya atau mengikuti semua jejak orang terang?” Pikiran anak muda itu tak pernah berhenti sampai mata mengatup dunia. Beranak pinak menjadi ratusan, ribuan pertanyaan.





0 komentar:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

Enter your Photobucket address:

Delivered by - Kubu Gaul

Google
Template by : Aril x-template.blogspot.com