sejarah ini kutipan2 dari beberapa buku2 yg menyinggung ttg pembentukan negara "sumatera" oleh para pemimpin militer di "SUMATERA" pada tahun 1957 seperti:
Para panglima daerah mendapat dukungan juga dari tokoh-tokoh sipil. Bantuan terbesar diperoleh dari profesor Sumitro. Bekas menteri keuangan.Sumitro menjadi jurubicara para kolonel di luar negeri. Di Singapura Sumitro menghubungi agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta (K&K, 71).Tanggal 7-8 September, Sumitro bertemu dengan para kolonel pembakang di Palembang. Pertemuan itu mencetuskan "Piagam Palembang" yang mengajukan enam tuntutan ke pusat: kembalinya dwitunggal, menyingkirnya Nasution, desentralisasi dan otonomi d aerah, pembentukan senat, penyegaran pemerintahan pusat dan pelarangan komunis.
Ketegangan pusat-daerah memuncak dengan rangkaian peristiwa tadi. Mulai dengan didirikannya Dewan Banteng, proklamasi Permesta, berdirinya Dewan Garuda dan dicetuskannya Piagam Palembang. Pemerintah pusat lalu mengundang seluruh pimpinan sipil dan militer daerah dalam Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10-12 September 57. Setelah Munas, Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra untuk meredakan suasana. Tapi baik Munas maupun usaha keras dari Hatta itu tidak berhasil meredakan ketegangan.
Bulan Januari 1958 kolonel Barlian, panglima Sumatra Selatan, mengusulkan pertemuan para kolonel di Sungai Dareh (9-10 Januari). Dalam pertemuan itu kemudian ikut serta tiga orang tokoh Partai Masyumi: Burhanuddin Harahap, Natsir (keduanya bekas Perdana Menteri) dan Sjafruddin Prawiranegara (beliau yang pernah memimpin pemerintahan RI dala m pengasingan setelah Sukarno-Hatta ditawan dalam Agresi-2). Dalam pertemuan Sungai Dareh itu, ketiga pemimpin Masyumi terperangkap dalam persekongkolan dengan AS yang sudah digarap oleh Sumitro, Simbolon dan Sumual.
Para tokoh Masjumi berusaha agar para kolonel tidak membentuk pemerintahan yang terpisah dari RI. Menurut James Bell, wartawan majalah Time yang meliput pertemuan Sungai Dareh itu, tokoh-tokoh Masyumi berpikir, "Civil war must be prevented and nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to replace Juanda with Hatta." (K&K, 129). Tapi mereka terdesak oleh para kolonel yang hadir, yaitu Simbolon, Husein, Sumual, Barlian, Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis.
Pertemuan Sungai Dareh membentuk "Dewan Perjuangan" dengan Hussein sebagai komandannya dan Padang sebagai markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di
Sungai Dareh itu terbatas, "The three Masyumi leaders realized that by participating in the conference they had crossed a Rubicon and that it would not be possible to return to Jakarta" (K&K, 129). Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel dan AS. Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung Karno.
Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh Indonesia, 50% di Jawa dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang sebenarnya bisa mewakili aspirasi pusat maupun daerah.
Para kolonel terus menjalin hubungan dengan AS dan Inggris.
Piagam Palembang membuktikan para kolonel itu anti komunis. Sumitro memberi banyak nasehat pada para kolonel daerah untuk sering-sering menyanyikan lagu anti-komunis ini.
Menurut salah satu pimpinan PRRI, kolonel Dahlan Jambek, "We must win American support by emphasizing the communist danger," dan "it was important to stress the anti- communist danger in the argument 'so as to interest the Americans'. Naturally our appeal must be made to fit our audience. For the Western powers we stress the very real danger of communism.
Ketegangan hubungan antara Pusat dengan Daerah (Medan, Padang, Palembang dan Makasar) pada akhir tahun 50-an memang dimonitor betul oleh pemerintahan Eise nhower. Ketika John Allison diangkat sebagai dubes baru AS untuk Indonesia (21 Februari 1957), pesan pemerintah Eisenhower tegas sekali, "Don't let Sukarno get tied up with the communists. Don't let him use force against the Dutch. Don't encourage his extremism...Above all, do what you can to make sure that Sumatra (the oil production island) doesn't fall to the communists.
Bulan Mei 1957, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) menugaskan seorang staf ahlinya, Gordon Mein, untuk menjajaki "the possible break-up of Indonesia". Dari studinya Mein menulis memorandum panjang yang al menyatakan bahwa, "It would be advantageous to have the sources of such commodities (rubber, oil, petroleum, tin) under more reliable political control... Sumatra, with the Malay peninsula, dominates the Staits of Malacca, and is of great strategic importance." Sebagai kesimpulan, Mein menyatakan pecahnya Indonesia, "Could succeed only with substansial mater ial assistance from the United States.
Dalam pergolakan daerah di Indonesia ini tiga unsur menyatu, yaitu partner lokal, ideologi anti-komunis dan intervensi militer. Sejak bulan Oktober 1957 CIA sudah mulai menyalurkan dana kepada kolonel Simbolon, eks panglima Sumatra Utara, yang dianggap pimpinan para kolonel. Tabir anti komunis itu dipakai efektif sekali oleh para kolonel. Menurut petugas CIA, Simbolon dkk itu, "Played up the anti-communist act because they knew we were interested in that." Dengan ideologi anti- komunis ini para pemberontak segera mendapat senjata untuk 8000 orang yang diselundupkan sebagai perlengkapan perusahaan minyak Caltex, dan sebagian lagi dikirim melalui pesawat udara dan juga melalui kapal selam yang muncul di pelabuhan Painan, 20 mil selatannya Padang. Kapal selam juga mengangkut pasukan Simbolon untuk berlatih di fasilitas militer AS di Okinawa, Saipan dan Guam. Persiapan militer untuk pe mberontakan itu terus berlangsung selama akhir tahun 1957.
Pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI memproklamirkan diri. Untuk membuktikan anti-komunisnya PRRI menangkap dan memenjarakan sekitar 650 orang PKI. "The anti-communist theme had by this time assumed major importance in the rebel propaganda, particularly to their overseas backers." (K&K, 147). Dukungan kepada para pemberontak PRRI diwujudkan dengan intervensi militer AS. "It was now evident that not merely were U.S. arms being channeled to the rebels via Taiwan and the Philippines but that military personnel form both the United States and the government of Chiang Kai-shek were directly supporting the rebels and that Philippine government personnel were also giving them significant assistance"
Di lautan PRRI dibantu penuh. Komandan Armada-7 AS membentuk "Task Force-75" yang terdiri atas satu cruiser, dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft carrier) berisi 2 batalion marinir untuk bergerak ke Singapura. Tujuan akhirnya adalah menduduki lapangan minyak Minas dan Duri di Riau. Kalau lapangan minyak itu dibom oleh RI maka Allen Dulles berpikir itulah alasan terbaik untuk mengadakan intervensi militer langsung dengan alasan "Melindungi warga AS di Caltex" (K&K,149). Kolonel George Benson, atase militer AS di Jakarta bilang, "The U.S was anxious to have pretext to send marines."
Dan dua batalion marinir itu sudah, "fully equipped and ready for battle were prepared to be helicoptered within twelve hours notice to the Sumatran oil fields"
Akhir dari pemberontakan PRRI kita semua sudah tahu. ABRI bertindak cepat dan sangat berani. Dengan 5 batalion marinir dan dua kompi RPKAD lapangan minyak Caltex direbut sehingga tidak ada lagi alasan AS untuk mendaratkan pasukannya di Sumatra. Task Force-75 terpaksa kembali ke pangkala n Subic di Pilipina. Tanggal 17 April Padang direbut kembali.
Di Sulawesi ceritanya agak lain. Bantuan AS membuat Permesta berjaya di udara. Selama bulan April-Mei 1958, Angkatan Udara Permesta (AUREV) mengadakan pengeboman di Banjarmasin, Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar, Ambon, Ternate dan Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Lapangan terbang yang mensuplai pemberontakan PRRI/Permesta al: Bangkok, Singapura, Saigon, Subic dan Clark dan Taiwan (K&K, peta halaman 171). Pilotnya berasal dari Amerika, Pilipina dan Taiwan. Morotai adalah lapangan terbang yang landasannya cukup panjang untuk mendaratnya pembom B-29. Dengan B-29 berpangkal di Morotai maka Permesta punya kemampuan untuk membom Surabaya, Bandung dan Jakarta. Dengan menguasai udara, sekaligus berarti juga menguasai lautan, pimpinan militer Permesta, kolonel Vence Sumual, sudah merencanakan untuk menyerbu Jakarta setelah menguasai Balikpapan dan Banjarmasin (K&K, 172). Tapi bulan Mei itu juga AURI mengadakan serbuan besar-besaran ke lapangan terbang Menado, Morotai dan Jailolo, yang dibarengi dengan serbuan darat. Tanggal 26 Juni Menado direbut. Pada bulan Juni, tulang punggung pemberontakan Permesta sudah dipatahkan.
1.Warouw, panglima Indonesia Timur
2.Ahmad Huse in, panglima Sumatra Barat
3Simbolon, panglima Sumatra Utara
4.Kolonel Barlian, Panglima Sumatra Selatan
5.Letkol. Inf. Herman Nicolas Ventje SUMUAL (Panglima Tentara dan Teritorrium , panglima Indonesia Timur yang baru saja menggantikan Warouw
2.Ahmad Huse in, panglima Sumatra Barat
3Simbolon, panglima Sumatra Utara
4.Kolonel Barlian, Panglima Sumatra Selatan
5.Letkol. Inf. Herman Nicolas Ventje SUMUAL (Panglima Tentara dan Teritorrium , panglima Indonesia Timur yang baru saja menggantikan Warouw
Para panglima daerah mendapat dukungan juga dari tokoh-tokoh sipil. Bantuan terbesar diperoleh dari profesor Sumitro. Bekas menteri keuangan.Sumitro menjadi jurubicara para kolonel di luar negeri. Di Singapura Sumitro menghubungi agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta (K&K, 71).Tanggal 7-8 September, Sumitro bertemu dengan para kolonel pembakang di Palembang. Pertemuan itu mencetuskan "Piagam Palembang" yang mengajukan enam tuntutan ke pusat: kembalinya dwitunggal, menyingkirnya Nasution, desentralisasi dan otonomi d aerah, pembentukan senat, penyegaran pemerintahan pusat dan pelarangan komunis.
Ketegangan pusat-daerah memuncak dengan rangkaian peristiwa tadi. Mulai dengan didirikannya Dewan Banteng, proklamasi Permesta, berdirinya Dewan Garuda dan dicetuskannya Piagam Palembang. Pemerintah pusat lalu mengundang seluruh pimpinan sipil dan militer daerah dalam Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10-12 September 57. Setelah Munas, Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra untuk meredakan suasana. Tapi baik Munas maupun usaha keras dari Hatta itu tidak berhasil meredakan ketegangan.
Bulan Januari 1958 kolonel Barlian, panglima Sumatra Selatan, mengusulkan pertemuan para kolonel di Sungai Dareh (9-10 Januari). Dalam pertemuan itu kemudian ikut serta tiga orang tokoh Partai Masyumi: Burhanuddin Harahap, Natsir (keduanya bekas Perdana Menteri) dan Sjafruddin Prawiranegara (beliau yang pernah memimpin pemerintahan RI dala m pengasingan setelah Sukarno-Hatta ditawan dalam Agresi-2). Dalam pertemuan Sungai Dareh itu, ketiga pemimpin Masyumi terperangkap dalam persekongkolan dengan AS yang sudah digarap oleh Sumitro, Simbolon dan Sumual.
Para tokoh Masjumi berusaha agar para kolonel tidak membentuk pemerintahan yang terpisah dari RI. Menurut James Bell, wartawan majalah Time yang meliput pertemuan Sungai Dareh itu, tokoh-tokoh Masyumi berpikir, "Civil war must be prevented and nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to replace Juanda with Hatta." (K&K, 129). Tapi mereka terdesak oleh para kolonel yang hadir, yaitu Simbolon, Husein, Sumual, Barlian, Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis.
Pertemuan Sungai Dareh membentuk "Dewan Perjuangan" dengan Hussein sebagai komandannya dan Padang sebagai markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di
Sungai Dareh itu terbatas, "The three Masyumi leaders realized that by participating in the conference they had crossed a Rubicon and that it would not be possible to return to Jakarta" (K&K, 129). Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel dan AS. Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung Karno.
Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh Indonesia, 50% di Jawa dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang sebenarnya bisa mewakili aspirasi pusat maupun daerah.
Para kolonel terus menjalin hubungan dengan AS dan Inggris.
Piagam Palembang membuktikan para kolonel itu anti komunis. Sumitro memberi banyak nasehat pada para kolonel daerah untuk sering-sering menyanyikan lagu anti-komunis ini.
Menurut salah satu pimpinan PRRI, kolonel Dahlan Jambek, "We must win American support by emphasizing the communist danger," dan "it was important to stress the anti- communist danger in the argument 'so as to interest the Americans'. Naturally our appeal must be made to fit our audience. For the Western powers we stress the very real danger of communism.
Ketegangan hubungan antara Pusat dengan Daerah (Medan, Padang, Palembang dan Makasar) pada akhir tahun 50-an memang dimonitor betul oleh pemerintahan Eise nhower. Ketika John Allison diangkat sebagai dubes baru AS untuk Indonesia (21 Februari 1957), pesan pemerintah Eisenhower tegas sekali, "Don't let Sukarno get tied up with the communists. Don't let him use force against the Dutch. Don't encourage his extremism...Above all, do what you can to make sure that Sumatra (the oil production island) doesn't fall to the communists.
Bulan Mei 1957, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) menugaskan seorang staf ahlinya, Gordon Mein, untuk menjajaki "the possible break-up of Indonesia". Dari studinya Mein menulis memorandum panjang yang al menyatakan bahwa, "It would be advantageous to have the sources of such commodities (rubber, oil, petroleum, tin) under more reliable political control... Sumatra, with the Malay peninsula, dominates the Staits of Malacca, and is of great strategic importance." Sebagai kesimpulan, Mein menyatakan pecahnya Indonesia, "Could succeed only with substansial mater ial assistance from the United States.
Dalam pergolakan daerah di Indonesia ini tiga unsur menyatu, yaitu partner lokal, ideologi anti-komunis dan intervensi militer. Sejak bulan Oktober 1957 CIA sudah mulai menyalurkan dana kepada kolonel Simbolon, eks panglima Sumatra Utara, yang dianggap pimpinan para kolonel. Tabir anti komunis itu dipakai efektif sekali oleh para kolonel. Menurut petugas CIA, Simbolon dkk itu, "Played up the anti-communist act because they knew we were interested in that." Dengan ideologi anti- komunis ini para pemberontak segera mendapat senjata untuk 8000 orang yang diselundupkan sebagai perlengkapan perusahaan minyak Caltex, dan sebagian lagi dikirim melalui pesawat udara dan juga melalui kapal selam yang muncul di pelabuhan Painan, 20 mil selatannya Padang. Kapal selam juga mengangkut pasukan Simbolon untuk berlatih di fasilitas militer AS di Okinawa, Saipan dan Guam. Persiapan militer untuk pe mberontakan itu terus berlangsung selama akhir tahun 1957.
Pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI memproklamirkan diri. Untuk membuktikan anti-komunisnya PRRI menangkap dan memenjarakan sekitar 650 orang PKI. "The anti-communist theme had by this time assumed major importance in the rebel propaganda, particularly to their overseas backers." (K&K, 147). Dukungan kepada para pemberontak PRRI diwujudkan dengan intervensi militer AS. "It was now evident that not merely were U.S. arms being channeled to the rebels via Taiwan and the Philippines but that military personnel form both the United States and the government of Chiang Kai-shek were directly supporting the rebels and that Philippine government personnel were also giving them significant assistance"
Di lautan PRRI dibantu penuh. Komandan Armada-7 AS membentuk "Task Force-75" yang terdiri atas satu cruiser, dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft carrier) berisi 2 batalion marinir untuk bergerak ke Singapura. Tujuan akhirnya adalah menduduki lapangan minyak Minas dan Duri di Riau. Kalau lapangan minyak itu dibom oleh RI maka Allen Dulles berpikir itulah alasan terbaik untuk mengadakan intervensi militer langsung dengan alasan "Melindungi warga AS di Caltex" (K&K,149). Kolonel George Benson, atase militer AS di Jakarta bilang, "The U.S was anxious to have pretext to send marines."
Dan dua batalion marinir itu sudah, "fully equipped and ready for battle were prepared to be helicoptered within twelve hours notice to the Sumatran oil fields"
Akhir dari pemberontakan PRRI kita semua sudah tahu. ABRI bertindak cepat dan sangat berani. Dengan 5 batalion marinir dan dua kompi RPKAD lapangan minyak Caltex direbut sehingga tidak ada lagi alasan AS untuk mendaratkan pasukannya di Sumatra. Task Force-75 terpaksa kembali ke pangkala n Subic di Pilipina. Tanggal 17 April Padang direbut kembali.
Di Sulawesi ceritanya agak lain. Bantuan AS membuat Permesta berjaya di udara. Selama bulan April-Mei 1958, Angkatan Udara Permesta (AUREV) mengadakan pengeboman di Banjarmasin, Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar, Ambon, Ternate dan Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Lapangan terbang yang mensuplai pemberontakan PRRI/Permesta al: Bangkok, Singapura, Saigon, Subic dan Clark dan Taiwan (K&K, peta halaman 171). Pilotnya berasal dari Amerika, Pilipina dan Taiwan. Morotai adalah lapangan terbang yang landasannya cukup panjang untuk mendaratnya pembom B-29. Dengan B-29 berpangkal di Morotai maka Permesta punya kemampuan untuk membom Surabaya, Bandung dan Jakarta. Dengan menguasai udara, sekaligus berarti juga menguasai lautan, pimpinan militer Permesta, kolonel Vence Sumual, sudah merencanakan untuk menyerbu Jakarta setelah menguasai Balikpapan dan Banjarmasin (K&K, 172). Tapi bulan Mei itu juga AURI mengadakan serbuan besar-besaran ke lapangan terbang Menado, Morotai dan Jailolo, yang dibarengi dengan serbuan darat. Tanggal 26 Juni Menado direbut. Pada bulan Juni, tulang punggung pemberontakan Permesta sudah dipatahkan.
0 komentar:
Post a Comment