Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedung gedungnya telah rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan
tidak lengkap dan banyak yang rusak, laboratorium tidak standar, serta pemakaian teknologi informasi tidak memadai. Bahkan yang lebih parah, masih banyak sekolah kita yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, dan tidak memiliki laboratorium
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia sangat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk melaksanakan tugasnya sebagaimana tertuang dalam pasal 39 UU No. 20/2003, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian masyarakat.Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia dinyatakan tidak layak mengajar. Hal itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu, yang tingkat berpendidikan hanya sampai SPG (SMA) atau berpendidikan diploma D2 ke bawah.
Walaupun guru bukan satu – satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, guru memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yan menjadi tanggung jawabnya.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai andil dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3.000.000. Tetapi lihatlah kenyataan sekarang, rata – rata gaji guru PNS Rp 1.5000.000, guru bantu Rp 460.000, dan guru honorer rata – rata Rp 10.000 per jam. Dengan pendapatan seperti itu, banyak guru yang melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, membei les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang buku/LKS, pedagang ponsel dan pulsa, pedagang mie rebus, dan sebagainya. Keadaan yang seperti itu juga mempunyai andil untuk mempengaruhi kualitas seorang guru. Bayangkan, seandainya guru – guru di Indonesia telah sejahtera, maka mereka akan benar – benar memusatkan segala aktivitasnya untuk melaksanakan tugasnya.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada kenyataannya lebih dimaknai untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan bagian MBS selalu diisyaratkan dengan adanya unsur pengusaha.Asumsinya, pengusaha mempunyai akses atas modal yang besar dan luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah/Dewan Pendidikan terbentuk, segala jenis pungutan uang sekolah berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, peda tingkat implementasi, pungutan tersebut tidak transparan, karena yang dipilah menjadi anggota dan pengurus Komite Sekolah/Dewan Pendidikan adalah orang – orang yang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan hanya menjadi legitimator kebijaksanaan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legimitasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tidak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Sebesar 35 – 40 % dari APBN setiap tahunnya dialokasikan untuk membayar utang, dan hal tersebut merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga menjadi 8% saja. Koordinator LSM Education Network for Justice, Yanti Mukhtar menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisme pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab pendidikan ke pasar. Dengan begitu, sekolah akan memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu akan mematok biaya setinggi – tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu, di samping alasan – alasan lain. Akibatnya, rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan yang berkualitas akan terbatasi. Seperti yang dituturkan pengamat ekonomi, Revrisond Bawsir, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah lama dirancang oleh negara – negara donor lewat Bank Dunia. Jika alasan pendidikan bernutu itu harus mahal, maka argumen itu hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan negara – negara berkembang lainnya, banyak sekolah – sekolah bermutu namun biaya pendidikan rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak harus murah atau gratis, persoalannya adalah siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Tetapi pada kenyataannya, pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Pedahal keterbatasan dana bukan alasan bagi pemerintah untuk cuci Tangan
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedung gedungnya telah rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan
tidak lengkap dan banyak yang rusak, laboratorium tidak standar, serta pemakaian teknologi informasi tidak memadai. Bahkan yang lebih parah, masih banyak sekolah kita yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, dan tidak memiliki laboratorium
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia sangat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk melaksanakan tugasnya sebagaimana tertuang dalam pasal 39 UU No. 20/2003, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian masyarakat.Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia dinyatakan tidak layak mengajar. Hal itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu, yang tingkat berpendidikan hanya sampai SPG (SMA) atau berpendidikan diploma D2 ke bawah.
Walaupun guru bukan satu – satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, guru memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yan menjadi tanggung jawabnya.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai andil dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3.000.000. Tetapi lihatlah kenyataan sekarang, rata – rata gaji guru PNS Rp 1.5000.000, guru bantu Rp 460.000, dan guru honorer rata – rata Rp 10.000 per jam. Dengan pendapatan seperti itu, banyak guru yang melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, membei les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang buku/LKS, pedagang ponsel dan pulsa, pedagang mie rebus, dan sebagainya. Keadaan yang seperti itu juga mempunyai andil untuk mempengaruhi kualitas seorang guru. Bayangkan, seandainya guru – guru di Indonesia telah sejahtera, maka mereka akan benar – benar memusatkan segala aktivitasnya untuk melaksanakan tugasnya.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada kenyataannya lebih dimaknai untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan bagian MBS selalu diisyaratkan dengan adanya unsur pengusaha.Asumsinya, pengusaha mempunyai akses atas modal yang besar dan luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah/Dewan Pendidikan terbentuk, segala jenis pungutan uang sekolah berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, peda tingkat implementasi, pungutan tersebut tidak transparan, karena yang dipilah menjadi anggota dan pengurus Komite Sekolah/Dewan Pendidikan adalah orang – orang yang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan hanya menjadi legitimator kebijaksanaan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legimitasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tidak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Sebesar 35 – 40 % dari APBN setiap tahunnya dialokasikan untuk membayar utang, dan hal tersebut merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga menjadi 8% saja. Koordinator LSM Education Network for Justice, Yanti Mukhtar menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisme pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab pendidikan ke pasar. Dengan begitu, sekolah akan memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu akan mematok biaya setinggi – tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu, di samping alasan – alasan lain. Akibatnya, rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan yang berkualitas akan terbatasi. Seperti yang dituturkan pengamat ekonomi, Revrisond Bawsir, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah lama dirancang oleh negara – negara donor lewat Bank Dunia. Jika alasan pendidikan bernutu itu harus mahal, maka argumen itu hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan negara – negara berkembang lainnya, banyak sekolah – sekolah bermutu namun biaya pendidikan rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak harus murah atau gratis, persoalannya adalah siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Tetapi pada kenyataannya, pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Pedahal keterbatasan dana bukan alasan bagi pemerintah untuk cuci Tangan










0 komentar:
Post a Comment