Sudah saatnya pemerintah RI membuat peta definitif tentang Negara Kesatuan RI, kemudian dikirim ke PBB. Karena, peta yang pernah kita gunakan dalam perundingan meja bundar dengan Belanda sudah tidak up to date lagi. UU No 4 Tahun 1960 dan beberapa peraturan lainnta seperti PP Nomor 38 Tahun 2002 yang menyangkut batas-batas negara kesatuan juga perlu direvisi.
Setelah Pulau Sipadan dan Ligitan lepas ke tangan Malaysia, 17 Desember 2002, apakah kini Indonesia juga akan kehilangan blok Ambalat? Ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, belakangan ini terasa kian meningkat terutama di blok Ambalat, Laut Sulawesi, menyusul melintasnya empat pesawat militer Malaysia pada 4 Maret 2005 di kawasan itu.
Konflik ini bermula dari klaim pihak Malaysia (Petronas, yang merupakan perusahaan minyak Pemerintah Malaysia) pada 16 Februari 2005 untuk memberikan konsesi eksplorasi minyak dan gas lepas pantai di blok Ambalat kepada perusahaan multinasional Shell. Masih ditambah lagi dengan lewatnya kapal perang Malaysia yang melanggar batas wilayah laut Indonesia di kawasan tersebut.
Sejak tahun 1966, Indonesia telah memberikan konsesi kepada berbagai perusahaan minyak di kawasan Ambalat, Kalimantan Timur, tanpa pernah mendapat protes dari Malaysia karena Ambalat memang bukan wilayah negeri jiran itu. Kemudian sejak 24 Februari 1998 Indonesia juga memberikan konsesi selama 30 tahun kepada dua perusahaan minyak Italia, yakni ENI Ambalat Ltd dan ENI Bukat Ltd untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah tersebut, sementara perusahaan Amerika Serikat (AS), Unocal hanya mengoperasikan pengeboran minyak lepas pantai. Meski demikian, tahun 1979 Malaysia membuat dan mengumumkan peta buatan mereka yang memasukkan blok Ambalat ke dalam wilayahnya. Peta sepihak ini sebenarnya telah diprotes RRC, Pilipina, Thailand, dan Indonesia sendiri, namun ternyata tidak dihiraukan Kuala Lumpur sampai terjadinya klaim teritorial yang tumpang tindih itu.
Klaim tumpang tindih (overlapping claim areas) dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki wilayah laut sejauh 12 mil dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jaraknya bisa sejauh 350 mil laut jika bisa dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan alamiah) dari daratan negara pantai itu. Ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim te-ritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut. Indonesia sebenarnya sudah berulang kali mengajak Malaysia duduk di meja perundingan mengenai batas landas kontinen, namun tak ada respons positif.
Unjuk Kekuatan
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang dipertaruhkan sehingga harus benar-benar ditegakkan. Dalam kaitan ini, Departemen Luar Negeri RI telah mengeluarkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia yang memberikan izin kepada perusahaan minyak AS (Amerika Serikat) untuk melakukan eksplorasi minyak di blok Ambalat. Pengiriman kapal perang TNI AL di kawasan itu bisa dibenarkan karena tiap negara wajib menjaga kedaulatan di daerah yang diyakini sebagai wilayahnya. Usai memanggil Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, dan Kepala Staf Angkatan Darat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta agar Pemerintah Indonesia mengambil langkah yang bijaksana agar dapat menyelesaikan kasus ini dengan solusi terbaik tanpa melakukan tindakan ekstrem.
Pulau Miangas yang pernah jadi sengketa Indonesia-Pilipina, dapat kita pertahankan sebab TNI AL waktu itu bertindak cepat dengan langsung menempatkan kapal perang di sana tanpa harus repot minta ijin kepada Mabes ABRI karena pada masa itu TNI AL masih independen. Tidak demikian halnya ketika TNI AL akan menempatkan satuan regu marinir di Sipadan dan Ligitan, harus minta ijin Mabes ABRI karena semua angkatan sudah diintegrasikan menjadi satu. Sayang, para pejabat tinggi Mabes ABRI waktu itu banyak yang tidak mengerti urusan Hukum Laut Internasional, sehingga dengan asumsi yang sangat naif tentang persaudaraan serumpun, urusan Sipadan dan Ligitan ditangani secara pasif, akibatnya kedua pulau itu lepas begitu saja. Tetapi kita tersentak setelah mengetahui Sipadan dan Ligitan ternyata memiliki wilayah laut dan dasar laut yang kaya sumber minyak dan gasnya.
Terkait pengerahan lima kapal perang RI ke perbatasan, mungkin benar kekhawatiran beberapa pihak, karena mengingat daya dukung kekuatan TNI AL yang sangat terbatas dapat membuat tindakan "unjuk gigi" tersebut hanya sebatas gertakan tanpa isi. Tetapi, dalam psikologi politik Malaysia yang nyaris tak pernah memiliki pengalaman berperang secara fisik seperti Indonesia, tiap upaya konfrontasi apa pun yang ditunjukkan Indonesia sebagai warisan sejarah konfrontasi 40 tahun lalu, akan senantiasa menjadi ancaman tersendiri. Hal ini harus dikelola secara cerdas dan hati-hati agar tidak kontraproduktif bagi kepentingan lebih besar yang ingin dicapai melalui diplomasi.
Upaya Hukum
Berdasarkan konsensus Mahkamah Internasional (MI), Indonesia sejak lama sebagai pemilik sah wilayah Ambalat. Jika kasus Ambalat ini kelak diajukan ke MI, maka Indonesia memiliki alat bukti dan dokumen yang kuat sejak peninggalan pemerintahan Hindia-Belanda tentang kepemilikan kawasan tersebut sebagai bagian yang sah dari wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Belajar dari pengalaman pahit atas terlepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang cukup menyakitkan, Pemerintah Indonesia kita harapkan tidak mengulangi lagi kelemahan berdiplomasi dengan pihak Malaysia agar NKRI tidak kehilangan blok Ambalat yang kini sedang diincar Malaysia.
Harus diakui bahwa kita masih lemah dalam persiapan/mengikuti perundingan atau penandatanganan konvensi-konvensi internasional. Pengalaman di forum-forum internasional menunjukkan bahwa Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia selalu siap dengan para ahli hukum dan ahli-ahli politik mereka dalam setiap lobi, diskusi ataupun dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk persiapan penandatanganan suatu konvensi. Sebab itu, pemerintah RI harus mampu memobilisasi semua kekuatan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang hukum internasional, sehingga RI tetap bisa mempertahankan kedaulatan hukum di forum internasional.
Sudah saatnya Pemerintah RI membuat peta definitif tentang Negara Kesatuan RI, kemudian dikirim ke PBB. Karena, peta yang pernah kita gunakan dalam perundingan meja bundar dengan Belanda sudah tidak up to date lagi. UU No 4 Tahun 1960 dan beberapa peraturan lainnya seperti PP Nomor 38 Tahun 2002 yang menyangkut batas-batas negara kesatuan juga perlu direvisi.
UU Nasional berbasis konsep pengertian tentang negara kepulauan, kedaulatan dan lintas damai bagi kapal-kapal asing harus terus diperjuangkan di forum-forum internasional agar Indonesia tidak lagi kehilangan sejengkal pun dari tanah airnya hanya karena mengabaikan Hukum Internasional. Legal status dalam arti okupasi efektif dengan bukti-bukti tindakan legislatif, administratif atas pulau-pulau terluar harus dibuktikan dengan tindakan-tindakan nyata.
Hakim Max Huber dari Mahkamah Internasional menegaskan bahwa kealpaan untuk mewujudkan tindakan kedaulatan secara nyata, bisa dijadikan dalil hukum untuk menggugurkan status kepemilikan negara atas suatu wilayah tertentu. Juga harus diingat, penemuan suatu wilayah (terra nullius) hanya sekadar berfungsi sebagai pendahuluan yang dapat digugurkan berdasarkan teori prescription yang memenangkan Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan.
Kelalaian Pemerintah Indonesia terlihat dari fakta bahwa sampai sekarang tidak ada satu pun badan pemerintah yang bertanggung jawab atas pengurusan batas wilayah negara, yaitu badan yang sehari-harinya membina keutuhan wilayah dan menyelesaikan persoalan yang timbul di daerah perbatasan. Padahal, Departemen Kehakiman bersama Mahkamah Agung RI bisa menentukan dengan tegas kompetensi pengadilan di pulau-pulau terluar. Selain itu dibutuhkan partisipasi aktif dalam rangka otonomi daerah agar para gubernur, bupati, camat, kepala desa di daerah perbatasan ikut memperhatikan pulau-pulau terluar tanpa harus menunggu komando pemerintah pusat. (Penulis adalah pengamat sosial politik,alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta).
Setelah Pulau Sipadan dan Ligitan lepas ke tangan Malaysia, 17 Desember 2002, apakah kini Indonesia juga akan kehilangan blok Ambalat? Ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, belakangan ini terasa kian meningkat terutama di blok Ambalat, Laut Sulawesi, menyusul melintasnya empat pesawat militer Malaysia pada 4 Maret 2005 di kawasan itu.
Konflik ini bermula dari klaim pihak Malaysia (Petronas, yang merupakan perusahaan minyak Pemerintah Malaysia) pada 16 Februari 2005 untuk memberikan konsesi eksplorasi minyak dan gas lepas pantai di blok Ambalat kepada perusahaan multinasional Shell. Masih ditambah lagi dengan lewatnya kapal perang Malaysia yang melanggar batas wilayah laut Indonesia di kawasan tersebut.
Sejak tahun 1966, Indonesia telah memberikan konsesi kepada berbagai perusahaan minyak di kawasan Ambalat, Kalimantan Timur, tanpa pernah mendapat protes dari Malaysia karena Ambalat memang bukan wilayah negeri jiran itu. Kemudian sejak 24 Februari 1998 Indonesia juga memberikan konsesi selama 30 tahun kepada dua perusahaan minyak Italia, yakni ENI Ambalat Ltd dan ENI Bukat Ltd untuk melakukan eksplorasi minyak di wilayah tersebut, sementara perusahaan Amerika Serikat (AS), Unocal hanya mengoperasikan pengeboran minyak lepas pantai. Meski demikian, tahun 1979 Malaysia membuat dan mengumumkan peta buatan mereka yang memasukkan blok Ambalat ke dalam wilayahnya. Peta sepihak ini sebenarnya telah diprotes RRC, Pilipina, Thailand, dan Indonesia sendiri, namun ternyata tidak dihiraukan Kuala Lumpur sampai terjadinya klaim teritorial yang tumpang tindih itu.
Klaim tumpang tindih (overlapping claim areas) dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki wilayah laut sejauh 12 mil dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jaraknya bisa sejauh 350 mil laut jika bisa dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan alamiah) dari daratan negara pantai itu. Ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim te-ritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut. Indonesia sebenarnya sudah berulang kali mengajak Malaysia duduk di meja perundingan mengenai batas landas kontinen, namun tak ada respons positif.
Unjuk Kekuatan
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang dipertaruhkan sehingga harus benar-benar ditegakkan. Dalam kaitan ini, Departemen Luar Negeri RI telah mengeluarkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia yang memberikan izin kepada perusahaan minyak AS (Amerika Serikat) untuk melakukan eksplorasi minyak di blok Ambalat. Pengiriman kapal perang TNI AL di kawasan itu bisa dibenarkan karena tiap negara wajib menjaga kedaulatan di daerah yang diyakini sebagai wilayahnya. Usai memanggil Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, dan Kepala Staf Angkatan Darat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta agar Pemerintah Indonesia mengambil langkah yang bijaksana agar dapat menyelesaikan kasus ini dengan solusi terbaik tanpa melakukan tindakan ekstrem.
Pulau Miangas yang pernah jadi sengketa Indonesia-Pilipina, dapat kita pertahankan sebab TNI AL waktu itu bertindak cepat dengan langsung menempatkan kapal perang di sana tanpa harus repot minta ijin kepada Mabes ABRI karena pada masa itu TNI AL masih independen. Tidak demikian halnya ketika TNI AL akan menempatkan satuan regu marinir di Sipadan dan Ligitan, harus minta ijin Mabes ABRI karena semua angkatan sudah diintegrasikan menjadi satu. Sayang, para pejabat tinggi Mabes ABRI waktu itu banyak yang tidak mengerti urusan Hukum Laut Internasional, sehingga dengan asumsi yang sangat naif tentang persaudaraan serumpun, urusan Sipadan dan Ligitan ditangani secara pasif, akibatnya kedua pulau itu lepas begitu saja. Tetapi kita tersentak setelah mengetahui Sipadan dan Ligitan ternyata memiliki wilayah laut dan dasar laut yang kaya sumber minyak dan gasnya.
Terkait pengerahan lima kapal perang RI ke perbatasan, mungkin benar kekhawatiran beberapa pihak, karena mengingat daya dukung kekuatan TNI AL yang sangat terbatas dapat membuat tindakan "unjuk gigi" tersebut hanya sebatas gertakan tanpa isi. Tetapi, dalam psikologi politik Malaysia yang nyaris tak pernah memiliki pengalaman berperang secara fisik seperti Indonesia, tiap upaya konfrontasi apa pun yang ditunjukkan Indonesia sebagai warisan sejarah konfrontasi 40 tahun lalu, akan senantiasa menjadi ancaman tersendiri. Hal ini harus dikelola secara cerdas dan hati-hati agar tidak kontraproduktif bagi kepentingan lebih besar yang ingin dicapai melalui diplomasi.
Upaya Hukum
Berdasarkan konsensus Mahkamah Internasional (MI), Indonesia sejak lama sebagai pemilik sah wilayah Ambalat. Jika kasus Ambalat ini kelak diajukan ke MI, maka Indonesia memiliki alat bukti dan dokumen yang kuat sejak peninggalan pemerintahan Hindia-Belanda tentang kepemilikan kawasan tersebut sebagai bagian yang sah dari wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Belajar dari pengalaman pahit atas terlepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang cukup menyakitkan, Pemerintah Indonesia kita harapkan tidak mengulangi lagi kelemahan berdiplomasi dengan pihak Malaysia agar NKRI tidak kehilangan blok Ambalat yang kini sedang diincar Malaysia.
Harus diakui bahwa kita masih lemah dalam persiapan/mengikuti perundingan atau penandatanganan konvensi-konvensi internasional. Pengalaman di forum-forum internasional menunjukkan bahwa Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia selalu siap dengan para ahli hukum dan ahli-ahli politik mereka dalam setiap lobi, diskusi ataupun dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk persiapan penandatanganan suatu konvensi. Sebab itu, pemerintah RI harus mampu memobilisasi semua kekuatan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang hukum internasional, sehingga RI tetap bisa mempertahankan kedaulatan hukum di forum internasional.
Sudah saatnya Pemerintah RI membuat peta definitif tentang Negara Kesatuan RI, kemudian dikirim ke PBB. Karena, peta yang pernah kita gunakan dalam perundingan meja bundar dengan Belanda sudah tidak up to date lagi. UU No 4 Tahun 1960 dan beberapa peraturan lainnya seperti PP Nomor 38 Tahun 2002 yang menyangkut batas-batas negara kesatuan juga perlu direvisi.
UU Nasional berbasis konsep pengertian tentang negara kepulauan, kedaulatan dan lintas damai bagi kapal-kapal asing harus terus diperjuangkan di forum-forum internasional agar Indonesia tidak lagi kehilangan sejengkal pun dari tanah airnya hanya karena mengabaikan Hukum Internasional. Legal status dalam arti okupasi efektif dengan bukti-bukti tindakan legislatif, administratif atas pulau-pulau terluar harus dibuktikan dengan tindakan-tindakan nyata.
Hakim Max Huber dari Mahkamah Internasional menegaskan bahwa kealpaan untuk mewujudkan tindakan kedaulatan secara nyata, bisa dijadikan dalil hukum untuk menggugurkan status kepemilikan negara atas suatu wilayah tertentu. Juga harus diingat, penemuan suatu wilayah (terra nullius) hanya sekadar berfungsi sebagai pendahuluan yang dapat digugurkan berdasarkan teori prescription yang memenangkan Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan.
Kelalaian Pemerintah Indonesia terlihat dari fakta bahwa sampai sekarang tidak ada satu pun badan pemerintah yang bertanggung jawab atas pengurusan batas wilayah negara, yaitu badan yang sehari-harinya membina keutuhan wilayah dan menyelesaikan persoalan yang timbul di daerah perbatasan. Padahal, Departemen Kehakiman bersama Mahkamah Agung RI bisa menentukan dengan tegas kompetensi pengadilan di pulau-pulau terluar. Selain itu dibutuhkan partisipasi aktif dalam rangka otonomi daerah agar para gubernur, bupati, camat, kepala desa di daerah perbatasan ikut memperhatikan pulau-pulau terluar tanpa harus menunggu komando pemerintah pusat. (Penulis adalah pengamat sosial politik,alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta).










0 komentar:
Post a Comment